COVID-19: Dampak dan Tantangan terhadap Tiongkok

SABRI UGM
7 min readMar 1, 2020

Ditulis oleh: Fadhil Haidar Sulaeman | Disunting oleh: Caesar Leonardo

Dalam setiap penyebaran wabah penyakit baru, baik dalam skala lokal maupun internasional, akan seringkali berdampak langsung terhadap kebijakan-kebijakan yang akan diambil oleh suatu negara. Skala penyebaran wabah bergantung pada beberapa faktor, seperti; medium virus untuk menular, persentase mortalitas virus, dan tingkat integrasi negara asal virus terhadap globalisasi dan dunia internasional (Li et al., 2019). Sejak kesehatan publik merupakan bagian dari pertahanan dan keamanan nasional, wabah virus tidak hanya mengakibatkan korban jiwa tetapi juga berdampak negatif pada stabilitas politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Meskipun terdapat kendala dalam memprediksi wabah yang akan datang, negara-negara di beberapa benua lebih berisiko mengalami dampak negatif tersebut dibanding negara-negara yang lain. Negara-negara di benua Asia-Pasifik sebagai contoh, memiliki tingkat urbanisasi, pertumbuhan dan kepadatan penduduk yang lebih tinggi dibanding negara-negara di benua lain dikarenakan meningkatnya arus globalisasi. Hal ini juga menyebabkan meningkatnya jumlah orang yang bepergian lebih jauh, lebih cepat, dan lebih sering daripada sebelumnya. Pada saat bersamaan , benua Asia juga merupakan rumah bagi 60 persen populasi diabetes yang ada di dunia, dan benua dengan tingkat penuaan populasi yang lebih tinggi dibandingkan yang benua lain (Binns and Low, 2016). Tingkat urbanisasi dengan intensitas yang tinggi, degradasi lingkungan, dan sistem kekebalan yang melemah menyebabkan negara-negara di benua Asia-Pasifik menjadi rentan akan penyebaran sebuah wabah (Oppenheim et al., 2019). Setelah penyebaran wabah terjadi, terdapat faktor medis dan non-medis yang menjadi pertimbangan sebagai strategi untuk melawan wabah tersebut. Faktor medis melingkupi sifat-sifat virus seperti; tingkat kecepatan virus bertransmisi dari inang ke inang dan s tingkat kematian dari infeksi virus tersebut (Houlihan and Whitworth, 2019). Adapun Faktor non-medis dalam penyebaran wabah mencakup alur perdagangan, migrasi, dan transportasi. Kedua faktor ini mempengaruhi tingkat penyebaran patogen dari negara asalnya. Namun, potensi bahaya terbesar dalam penyebaran virus baru dapat berasal dari kepanikan publik dan tanggapan pemerintah. Pasalnya, ketika terjadi kepanikan massal, terdapat kemungkinan bahwa politisi akan mengintervensi, melalui re-alokasi anggaran dari upaya penanggulangan penyakit menular lain seperti demam berdarah, malaria, TBC, dan hepatitis, untuk menangani penyebaran virus yang baru atau untuk kepentingan politik lain (Kapiriri and Ross, 2018). Sehingga, tindakan pemerintah dapat berpotensi untuk sama berbahayanya dengan pandemi atau epidemi itu sendiri.

Dalam penyebaran wabah virus COVID-19, negara yang paling terdampak tentunya adalah Tiongkok, dan naasnya, negara tersebut sedang menghadapi berbagai tantangan di sektor lain. Dengan protes di Hong Kong, kontroversi penindasan etnis Uyghur, perlambatan ekonomi nasional, dan perang dagang dengan Amerika Serikat, Beijing kini harus menghadapi wabah virus menular ketika jutaan warga negaranya berencana untuk bepergian ke keluar negeri demi merayakan tahun baru. Selain itu, fakta bahwa kota Wuhan terletak pada persimpangan wilayah pesisir Tiongkok menyebabkan keputusan pemerintah setempat untuk mengkarantina kota berdampak pada gangguan ekonomi, seperti halnya wabah SARS dan MERS. Adapun pandemi coronavirus di Wuhan berpotensi memberikan kerusakan lebih besar (Heymann and Shindo, 2020). Sebagai perbandingan, pandemi SARS menginfeksi sekitar 8.000 orang dan membunuh ratusan, sementara penyebaran wabah MERS menginfeksi lebih dari 2.400 orang dan merenggut ratusan juga (European Centre for Disease Prevention and Control, 2020). Perlu dicatat bahwa Kedua pandemi ini terjadi di belahan dunia dengan populasi yang relatif lebih sedikit, khususnya MERS yang menimpa negara-negara di Semenanjung Arab. Jika dibandingkan, Tingkat kematian rata-rata virus Wuhan berkisar antara 2–4% , lebih rendah dibanding wabah SARS dengan 9%, dan MERS dengan 35%; angka kematian pandemi coronavirus untuk lansia melonjak hingga 50%, identik dengan wabah MERS (Mahase, 2020). Namun kendala utama dalam menangani penyebaran wabah coronavirus dari Wuhan adalah tingkat kecepatan virus bertransmisi dari manusia ke manusia yang tinggi dan masa inkubasi virus yang panjang. Hal ini menyebabkan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk persiapan, deteksi, pelacakan, pemantauan dan pengendalian wabah coronavirus yang efektif lebih rumit untuk dilaksanakan.

Hingga saat ini, pihak berwenang telah mengambil kebijakan dengan menutup akses jalur bolak-balik darat, air dan udara yang melalui Wuhan dan 15 kota lainnya. Wuhan adalah pusat transportasi domestik utama serta pusat manufaktur, industri berat, dan penelitian ilmiah milik Tiongkok. Penutupan kota dapat berdampak pada gangguan lalu lintas, perdagangan, dan pengiriman laut yang melalui jalur utama Sungai Yangtze (Kawakami and Tabeta, 2020). Pada gilirannya, kebijakan ini juga diprediksi akan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi kota-kota pelabuhan di Tiongkok seperti Shanghai dan Guangzhou (Rapoza, 2020). Sama halnya dengan wabah MERS dan SARS, infeksi coronavirus diharapkan akan berkurang pada musim semi dan sepenuhnya teratasi pada musim panas. Jika prediksi tersebut akurat pemerintah Beijing diperkirakan dapat mencabut pembatasan lalu lintas pada akhir Maret (Pallini, 2020). Namun, karena terdapat kurang lebih 5 juta orang yang diperkirakan meninggalkan kota Wuhan sebelum masa karantina dimulai., puluhan ribu orang berpotensi menyebarkan wabah coronavirus di seluruh dunia saat ini Hal ini mengakibatkan pihak berwenang tidak bisa melakukan pengendalian lebih lanjut dikarenakan masa inkubasi coronavirus yang lama (Mahase, 2020). Jika skenario terakhir terjadi, jumlah korban infeksi coronavirus secara internasional diprediksi akan terus meningkat. Lansia dan masyarakat dengan masalah kesehatan akan menjadi kalangan yang rentan terpapar coronavirus. Risiko ini diperkirakan bertambah pada negara-negara berkembang yang bertetangga dengan Tiongkok, seperti Kamboja, Thailand, Myanmar, Vietnam, dan Bangladesh (Son, 2020). Adapun kebijakan lebih lanjut dari Pemerintah Tiongkok diperlukan untuk memenuhi kepentingan produksi dan ekspor nasional dalam jangka panjang jika keadaan semakin memburuk.

Selain berdampak pada kondisi ekonomi dan krisis kesehatan, wabah coronavirus juga berdampak pada kondisi politik di Tiongkok. Dalam sistem pemerintahan paternalistik Tiongkok, terdapat sebuah kontrak sosial antara pemerintah dengan masyarakat umum. Pemerintah memperoleh legitimasinya dari pertumbuhan ekonomi dan layanan publik,bukan melalui legitimasi dari pemilihan demokratis (Saich, 2018). Berbeda dengan sistem pemerintahan di negara lain, Partai Komunis China telah mengatur kehidupan warganya secara mikro dan memberlakukan sistem totaliter dalam kehidupan sosial-politik masyarakat (Kharpal, 2020). Sistem politik ini bermanfaat dalam menghadapi keadaan darurat. Kebijakan otoritas Partai Komunis yang telah meningkatkan harapan publik dalam hal layanan, pertahanan, pemerintahan, dan kualitas hidup secara keseluruhan membuktikan manfaat tersebut. Namun, dalam penanganan pandemi COVID-19, kebijakan Partai Komunis Tiongkok diuji. Pemberlakuan sistem informasi satu arah oleh otoritas Beijing dianggap perlu untuk meningkatkan kekuatan politik pemerintah dalam masyarakat paternalistik. Hal ini berakibat pada pelaporan oleh pemerintah pusat setelah lebih dari 30 hari terjadinya kasus pneumonia terkait coronavirus pertama kepada World Health Organization (Belluz, 2020). Peristiwa ini dapat menjadi bahan pertimbangan masyarakat Tiongkok dan dunia internasional untuk menilai kebijakan Partai Komunis Tiongkok dalam mengelola negara. Ketidaktepatan pemerintah Beijing dalam menangani wabah coronavirus dapat menghilangkan kompetensi Partai Komunis Tiongkok (Zhang, 2020). Dalam hal ini, legitimasi Partai Komunis Tiongkok sedang dipertaruhkan.

Referensi

Belluz, J. (2020). China hid the severity of its coronavirus outbreak and muzzled whistleblowers — because it can. [online] Vox. Available at: https://www.vox.com/2020/2/10/21124881/coronavirus-outbreak-china-li-wenliang-world-health-organization [Accessed 27 Feb. 2020].

Binns, C. and Low, W. (2016). Diabetes in the Asia Pacific Region. Asia Pacific Journal of Public Health, 28(6), pp.472–474.

European Centre for Disease Prevention and Control. (2020). Factsheet for health professionals on Coronaviruses. [online] Available at: https://www.ecdc.europa.eu/en/factsheet-health-professionals-coronaviruses [Accessed 27 Feb. 2020].

Heymann, D. and Shindo, N. (2020). COVID-19: what is next for public health?. The Lancet, 395(10224), pp.542–545.

Houlihan, C. and Whitworth, J. (2019). Outbreak science: recent progress in the detection and response to outbreaks of infectious diseases. Clinical Medicine, 19(2), pp.140–144.

Kapiriri, L. and Ross, A. (2018). The Politics of Disease Epidemics: a Comparative Analysis of the SARS, Zika, and Ebola Outbreaks. Global Social Welfare, 7(1), pp.33–45.

Kawakami, T. and Tabeta, S. (2020). Wuhan lockdown strikes at heart of ‘Made in China 2025’. [online] Nikkei Asian Review. Available at: https://asia.nikkei.com/Spotlight/Coronavirus/Wuhan-lockdown-strikes-at-heart-of-Made-in-China-2025 [Accessed 27 Feb. 2020].

Kharpal, A. (2020). Coronavirus could be a ‘catalyst’ for China to boost its mass surveillance machine, experts say. [online] CNBC. Available at: https://www.cnbc.com/2020/02/25/coronavirus-china-to-boost-mass-surveillance-machine-experts-say.html [Accessed 27 Feb. 2020].

Li, S., Ferrari, M., Bjørnstad, O., Runge, M., Fonnesbeck, C., Tildesley, M., Pannell, D. and Shea, K. (2019). Concurrent assessment of epidemiological and operational uncertainties for optimal outbreak control: Ebola as a case study. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences, 286(1905), p.20190774.

Mahase, E. (2020). Coronavirus: covid-19 has killed more people than SARS and MERS combined, despite lower case fatality rate. BMJ, p.m641.

Oppenheim, B., Gallivan, M., Madhav, N., Brown, N., Serhiyenko, V., Wolfe, N. and Ayscue, P. (2019). Assessing global preparedness for the next pandemic: development and application of an Epidemic Preparedness Index. BMJ Global Health, 4(1), p.e001157.

Pallini, T. (2020). 26 airlines have canceled flights beyond China amid fears coronavirus is spreading globally — here’s the full list. [online] Business Insider Singapore. Available at: https://www.businessinsider.sg/airlines-canceling-flights-outside-of-china-amid-coronavirus-fears-2020-2?r=US&IR=T [Accessed 27 Feb. 2020].

Rapoza, K. (2020). Coronavirus Impact: Has China Really Returned To Work?. [online] Forbes.com. Available at: https://www.forbes.com/sites/kenrapoza/2020/02/20/coronavirus-impact-has-china-really-returned-to-work/#5f55c2677728 [Accessed 27 Feb. 2020].

Saich, T. (2018). Governance and Politics of China. London: Macmillan Education Limited, pp.45–55.

Son, J. (2020). COVID-19: Tips for A Saner Digital Diet in These Viral Times. [online] Reporting ASEAN — Voices and views from within Southeast Asia. Available at: https://www.reportingasean.net/covid-19-tips-saner-digital-diet-viral-times/ [Accessed 27 Feb. 2020].

Zhang, T. (2020). The Wuhan Virus Could Hurt the Party’s Legitimacy. [online] Foreign Policy. Available at: https://foreignpolicy.com/2020/01/31/wuhan-coronavirus-hurt-chinese-communist-party-legitimacy/ [Accessed 27 Feb. 2020].

--

--

SABRI UGM

SABRI UGM is an overseas chapter to SABRI Tsinghua University established in Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta, Indonesia).